Pelatihan dan Uji Sertifikasi LSP Penulis dan Editor Profesional Dosen FMIPA UNY

FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta menyelenggarakan Pelatihan dan Uji Sertifikasi Penulis dan Editor Profesional bagi dosen FMIPA. Materi pelatihan disampaikan Epik Finilih, seorang penulis, editor, dan konsultan yang juga Manajer Sertifikasi Lembaga Sertifikasi Profesi  Penulis dan Editor Profesional. Kegiatan yang diselenggarakan Jumat, 4/11/22 di Yogyakarta ini diikuti oleh 49 dosen FMIPA UNY.
Dekan fmipa, Prof. Dr. Ariswan, M.Si., dalam sambutannya mengatakan, acara ini dalam upaya meningkatkan kualitas layanan kita di FMIPA UNY.  FMIPA  kedepan pasti lebih baik. Kegiatan hari ini merupakan upaya sertifikasi penulis dan editor professional lembaga sertifikasi profesi  yang terakreditasi dari BNSP. Kegiatan ini merupakan implementasi dari insentif IKU. 
“Dengan kegiatan hari ini bisa mendukung akselerasi guru besar  pada umur 40an. Ini harus diraih karena FMIPA menjadi inti pengembangan akademik sehingga marwah para senior kita untuk menjaga kualitas akademik terjaga. Dengam mengikuti kegiatan ini maka dosen akan mempunyai sertifikasi terakreditasi sehingga menjadi tambahan pengetahuan dosen”, lanjut Dekan.
Sementara itu, Epik Finilih dalam paparannya yang berjudul Penulisan Buku Nonfiksi
mengatakan, nyaris semua bahan penulisan buku non fiksi sudah dimiliki oleh dosen, karena dosen berada dilingkungan penelitian. Jadi bahan-bahan untuk menyusun buku non fiksi sangat banyak. Hasil-hasil penelitian bisa digunakan untuk menulis buku. Kita banyak menemui buku yang pengarangnya sudah tiada, jadi buku bisa menjadi rekam jejak kita. 
“Tantangan paling umum yang dirasakan orang  sebelum menulis  adalah ide. Ada banyak ide yang bisa ditemukan misalnya seperti silabus, bahan ajar, RPS., hasil penelitian, dll. Selanjutnya adalah masalah waktu. Penulis harus meluangkan waktu karena jika tidak meluangkan waktu maka buku tidak akan jadi. Silakan cari waktu yang ternyaman, misalnya yang bapak-bapak setelah sholat subuh sekitar 1-2 jam. Kalau bisa konsisten seperti itu misalnya sehari bisa 2 halaman, maka dalam waktu  30 hari sudah menulis 60 halaman”, terang Epik. 
Hal lainnya, menurut Epik, yaitu setiap bab yang ditulis ada deadlinenya. Kita harus patuh pada deadline itu. Jadi kita memaksa mood kita untuk bermain adrenalin. Ada yang sistem kebut semalam, ada yang santai sehari menulis 2-3 halaman, tapi ada juga yang sekali menulis bisa sampai 10 halaman. Yang paham waktu adalah penulis itu sendiri, tinggal bagaimana penulis disiplin dengan situasi itu. 
“Membaca juga menjadi hal yang wajib dilakukan oleh penulis. Kalau tidak membaca maka kita tidak bisa mengumpulkan referensi”, katanya. 
Epik juga menjelaskan bahwa ide yang ditulis harus ada masalahnya. Kalau tidak ada ide maka tidak ada yang bisa dibahas. Selama ide yang tertuang mengandung masalah yang banyak, bapak ibu tidak akan takut dengan jumlah halaman.  Yang sering menjadi kekawatiran adalah bahwa buku itu banyak halamannya. Misalnya bab I cuma dapat  5 halaman dan bab cuma ada IV. Kalau masing-masing bab hanya 5 halaman berarti buku cuma 20 halaman. Mungkin hal yang dibahas di ide memang tidak banyak.  Jadi harus dievaluasi apakah ide ini masih mungkin dikembangkan menjadi buku. Evaluasi bisa dilakukan ketika penulis membuat kerangka naskah. Kalau kita tidak bisa mengembangkan akar-akar  untuk ide itu berarti ide itu tidak banyak masalahnya. Kalau ide itu dianggab penting kita bisa mendesain dengan ukuran dan jumlah halaman bukunya. Jadi kalau naskahnya tidak banyak bisa kita siasati dengan mendesain buku yang lebih kecil. Kita bisa menambah gambar-gambar atau desain layout bisa mengembangkan halaman minimal. Untuk buku jumlah halaman antara 48 atau 56 sudah layak cetak.  (witono).