ROSID, NGENGER DEMI KULIAH

Ngenger dilakoni dengan ikhlas, menjadi anak masjid menjadi solusi baginya yang tidak mampu membayar uang kost.

Kuliah. Sebuah kata yang tidak pernah terbersit dalam angan seorang remaja desa Mingking, Sokorini, Muntilan, Magelang. Dibesarkan dari jerih payah orangtuanya yang tidak mampu seperti tenggelamkan angan untuk meraih sekolah yang lebih tinggi. Ada keinginan untuk melanjutkan sekolah namun dia merasa juga harus membantu keadaan ekonomi keluarga. Bapaknya, Saeroji, seorang buruh tani dan ibunya kadang kala membuat gula kelapa untuk dijual ke pasar. Berbagai pikiran berkecamuk dalam kepalanya antara bekerja diluar atau membantu orang tua diantara lepotan lumpur sawah. Terlebih di lingkungannya tak banyak remaja yang melanjutkan sekolah sampai perguruan tinggi, “Jarang remaja di desa saya masuk SMA apalagi kuliah, mungkin karena alasan ekonomi atau lainnya”, ungkapnya
Paham akan keadaannya, gurunya di SMAN 1 Ngluwar Magelang mengusulkan data diri tentang dirinya untuk diikutkan dalam program Beasiswa Masuk Universitas (BMU). Adalah Muhammad Abdul Rosid, anak seorang buruh tani tetapi Tuhan memberikan kelebihan dengan otaknya yang encer. Prestasinya sebagai juara 1 di SMAN 1 Ngluwar menjadi perhatian guru-gurunya bahwa remaja ini harus diperjuangkan, tak boleh putus sekolah. Apa yang diperjuangkan gurunya membuahkan hasil. Rosid, demikan ia akrab disapa, berhasil lolos seleksi masuk ke Universitas Negeri Yogyakarta mengalahkan pesaing-pesaing dari pelbagai daerah. Tahun 2007 dia resmi tercatat sebagai mahasiswa program studi favorit: Pendidikan Matematika di fakultas MIPA Universitas Negeri Yogyakarta.
Kegembiraaan sekaligus kebingungan berkecamuk dalam hati Rosid yang mempunyai hobi pramuka. Uang dalam nominal jutaan rupiah yang harus dibayar sebelum masuk kuliah menjadi pikiran dalam benaknya. Cukup besar bagi keluarga Rosid yang pendapatan per bulannya tak menentu.hanya berkisar 400 ribu rupiah saja. Rosid yang telah terlatih untuk bekerja keras tidak menyerah begitu saja, otak encernya berpikir keras mencari solusi bagaimana mencari uang untuk biaya masuk kuliah. Tak berhenti disitu saja karena bila sudah menempuh bangku kuliah ia juga harus memikirkan biaya hidup dan biaya tempat tinggal serta SPP tiap semesternya. Dengan bantuan temannya ia akhirnya bisa mengangsur SPP, satu masalah terselesaikan. Namun tidak berhenti sampai disitu, karena tidaklah mungkin menempuh jarak yang sedemikian jauh dari Muntilan setiap hari untuk kuliah. Alternatif termudah adalah kost padahal itu juga tidak memungkinkan karena keterbatasan ekonomi keluarga. Lalu dipikirkannya bagaimana dapat tinggal di Jogja karena jelas tidak mungkin baginya untuk melaju. Akhirnya dengan empat kawannya dia mendapatkan tempat ngenger di sebuah masjid di daerah Jalan Kaliurang secara cuma-cuma dengan konsekuensi mereka harus merawat masjid itu termasuk mengumandangkan adzan, iqomah serta kadang juga sekaligus menjadi imam shalat. Untuk makan mereka memasak sendiri tiap hari dengan beras yang dibawa dari rumah dan pada saat tertentu mendapatkan uang saku sebagai takmir masjid. Kamar yang tersedia 3 buah untuk 5 orang anak masjid. Kehidupan Rosid sebagai anak masjid begitu sederhana dengan peralatan lemari plastik, kasur dan meja yang merupakan “lungsuran” dari anak masjid terdahulu.
Kehebatan Rosid terbukti di bangku kuliah. Dengan segala keterbatasan yang ada, peraih nilai sempurna Ujian Akhir Nasional, 10,00 pada mata pelajaran matematika di SMAN 1 Ngluwar Magelang ini berhasil mencatatkan indeks prestasi nyaris sempurna selama kuliah di FMIPA. Bahkan pada semester pertama memperoleh IP 3,98 dan berhasil meloloskan karya ilmiah ke tingkat universitas berjudul “pelepah pisang sebagai media pembelajaran matematika” dan “budidaya jamur tiram sebagai peluang bisnis yang prospektif”. Dari sebuah kamar sempit dengan sebuah kasur dan perabot seadanya setiap hari jarak sejauh itu ditempuhnya dengan mengayuh sepeda. Ketika ditanya bagaimana cara remaja kelahiran 26 Februari 1988 ini mempertahankan IP nyaris sempurna tersebut, Rosid menjelaskan bahwa karena keterbatasan dana untuk membeli buku maka dia hanya bisa meminjam dari teman atau perpustakaan. Konsekuensinya, tiap buku yang dipinjam harus bisa tidak sekedar dibaca namun wajib dipahami, sebisa mungkin dalam satu kali baca. Selain itu dia biasa belajar dari buku-buku terbitan lama dan bertanya pada dosen. Sebelum paham akan suatu hal dia tidak bakal berhenti bertanya. Dalam mata kuliah jurusan matematika, misalnya pada mata kuliah “rancangan percobaan” bila dia tinggal menerima jadi sebuah rumus matematika dari dosen, Rosid tidak menerima begitu saja namun akan dilacak darimana rumus itu berasal. Ternyata, sebuah keterbatasan tidak membuat padam cita-cita sebagai generasi penerus bangsa yang ingin menggapai mimpi menjadi seorang guru matematika, pelajaran yang disukainya…