KKNI Untuk Menjawab Tantangan Persoalan Di Indonesia

Latar belakang dari Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) ada dua alasan yaitu eksternal dan internal. Alasan eksternal yaitu tantangan dan persaingan global. Perjanjian untuk perdagangan ditandatangani tahun 1980 tapi Indonesia tidak pernah siap. AFTA akan diberlakukan mulai 2015 kita juga tidak siap.
Sedangkan alasan internal diantaranya kesenjangan mutu, jumlah dan kemampuan. Tentang kesenjangan mutu, sejak  Sekolah Dasar ibu-ibu sudah memberikan  diskriminasi. Contoh, jika menerima rapor anaknya, yang dilihat pertama adalah Matematika, bukan PKn. Rasanya tidak bangga jika nilai PKn anaknya dapat 9, tapi jika matematika dapat 5 maka anak itu dimarahi. Di jenjang SMA kemudian masuk IPA, kemudian jadi sombong terhadap anak IPS.
Demikian dipaparkan Endrotomo, M.Ars., Tim Penyusun KKNI Dikti pada acara Seminar Nasional Penelitian Pendidikan dan Penerapan MIPA, Sabtu (18/5) di ruang Seminar FMIPA UNY. Seminar yang diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis ke-49 UNY ini diikuti sekitar 350 peserta dosen dan guru se-Indonesia. Pembicara lain yaitu Prof. Mudasir, Ph.D., dari UGM dan Edi Prajitno, M.Pd., dari Jurusan Pendidikan Matematika UNY.
Lebih lanjut dikatakan, alasan lain yaitu relevansi penghasil versus pengguna yang berakibat pengangguran. Selain itu beragam aturan kualifikasi, dokter punya kualifikasi, begitu juga dengan arsitek, pengacara dan lainnya. Semua itu tidak ada yang menyamakan. Jadi persoalan dalam negeri sangat banyak.
“Sebetulnya untuk SDM Indonesia dan asing itu supaya ada kesetaraan dan pengakuan. Sampai saat ini perawat kita hanya digaji setengah dari perawat Filipina. Yang di Jepang sekitar 800 orang tidak bisa bekerja sebagai perawat tetapi cleaning service di rumah sakit. Mereka tidak bisa pulang karena gajinya habis untuk makan. Yang di Dubai dideportasi, dan Dubai sampai hari ini tidak menerima perawat dari Indonesia. Yang jadi persoalan adalah para perawat kita modalnya hanya ijazah dan tidak terkualifikasi. Ini yang menyebabkan dunia kerja tidak diakui,” jelasnya.
Dicontohkan, jika dosen melakukan riset bersama lantas ada orang asing yang membiayai, gaji peneliti asing tersebut jauh lebih besar dari peneliti Indonesia. Hal ini karena tidak bisa dikualifikasi, padahal orang asing tersebut belum tentu lebih paham dari peneliti Indonesia. (witono)