Sertifikasi Terkendala Bahasa dan Tidak Tahu Cara Mencarinya

Pada Mutual Recognition Arrangements (MRA) intinya yaitu sepuluh negara ASEAN mengatur arus tenaga kerja melalui standar ASEAN. Ada 8 MRA dibidang jasa telah disepakati dalam ASEAN yaitu engineering service, nursing service, architectural service, Framework Arrangement for mutual Recognition on Surveying Qualification, tourism professional, accountancy service, medical practitioners, dan dental practitioners.
Dari kedelapan ini Indonesia paling siap adalah engineering. Saat ini engineer Indonesia sudah ada 200 an orang yang sudah memiliki sertifikasi ASEAN. Semua Negara kalah sama Indonesia. Arsitek kita juga sudah siap. Arsitek kita sudah dipakai di Negara-negara ASEAN lainnya. Yang sedang mempersiapkan dan hampIr selasai adalah akuntan.
Hal tersebut disampaikan Ina Hagniningtyas Krisnamurthi, Direktur Kerjasama Ekonomi ASEAN, keynote speaker pada acara Seminar Nasional Pendidikan Matematika di FMIPA UNY, Sabtu, 14/3/15. Seminar yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Pendidikan Matematika ini merupakan rangkaian dari kegiatan Dies Natalis ke-51 UNY. Pembicara lain yaitu Prof. Dr. Paulina Pannen, MLS dan Dr. Djamilah Bondan Widjajanti (FMIPA UNY).
Lebih lanjut dikatakan, untuk sertifikasi di Indonesia memang masih kurang. Kurangnya bukan dari sisi kemampuan SDM tapi soal bahasa. Perawat Indonesia sudah tidak diragukan lagi kemampuannya. Bahkan di Eropa dan Kanada tidak mau selain perawat dari Indonesia. Tapi perawat tidak berstandar karena tidak bisa bahasa Inggris, hanya menggunakan ‘bahasa tarzan’. Tapi perawat Indonesia punya yang nomor satu, yaitu kasih sayang, empatinya besar.  Disana mereka banyak merawat orang tua.
Selain itu, orang Indonesia tidak suka ajeb (disko). Kalau dari Negara lain pada week end, mereka minta libur ingin minum alkohol, ke kafe, disko, dll. Tapi kalau orang Indonesia inginnya libur hari Minggu ketemu teman, ngobrol lalu belanja, jadi simpel. Orang Indonesia yang jadi ABK, perawat, dll seperti itu. Yang jadi ABK ketika di daratan paling hanya jalan-jalan lihat pemandangan, belanja, ngobrol sama teman.
“Selain kendala bahasa, kelemahan lainnya ialah tidak tahu bagaimana caranya mencari sertifikat. Penggunaan internet baru sekedar ber fb, youtube, dll. Jadi belum dimanfaatkan secara lebih,” tegasnya.
Ina juga menjelaskan bahwa provinsi yang sudah memikirkan kompetensi kerja ada dua yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur. Jawa Tengah berbasis vokasi, sedangkan Jawa Timur berbasis profesi. Di dua provinsi ini Bahasa Indonesia menjadi prasyarat utama. Prasayarat kedua yaitu mereka harus mencicipi pendidikan di provinsi itu supaya memahami budaya lokal. Jadi kesimpulannya kesadaran terhadap MEA sudah sampai pada tingkat provinsi bukan hanya pada level diplomat. (witono)