Pengalaman Belajar Kartika Ratna Pertiwi di Negeri Kincir Angin

dr. Kartika Ratna Pertiwi, M.Biomed.Sc, Ph.D., dosen Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY berhasil mempertahankan desertasi/doctoral thesisnya yang berjudul berjudul “Novel Aspects of Innate Immunity in Human Atherosclerosis and Thrombosis” pada Selasa, 23/6/20 pukul 19.00 – 21.00 WIB (pukul 14-16 CEST) via online ZOOM karena masih masa pandemic Covid-19. Sidang terbuka disiarkan secara langsung melalui kanal Youtube University of Amsterdam (UvA) melalui tautan https://youtu.be/7QokQKRXlrA.
Bu Tiwi, begitu sapaan akrab beliau menuturkan pengalaman belajar dan hidup di kota Amsterdam, Belanda. “Pada tahun 2015, saya melanjutkan studi PhD di benua Eropa. Waktu itu, sebenarnya ada beberapa opsi pilihan kampus untuk melanjutkan S3, akhirnya setelah lolos seleksei beasiswa LPDP dari Kemenkeu, dorongan kuat keluarga membuat saya menjatuhkan pilihan untuk bersekolah di University of Amsterdam (UvA), Belanda”.
“Proyek penelitian saya adalah pengembangan biomarker untuk mendeteksi kegawatan aterotrombosis (aterosklerosis dan thrombosis), penyebab utama penyakit sumbatan pembuluh darah seperti penyakit jantung koroner dan stroke. Saya bekerja sebagai peneliti PhD dibawah bimbingan promotor, Prof. Allard van der Wal (profesor bidang patologi kardiovaskular, Fakultas Kedokteran UvA) dan copromotor, Dr. Onno J de Boer (asisten profesor bidang Imunologi, Fakultas Kedokteran, UvA)”, lanjutnya.
Tesis saya yang berjudul “Novel Aspects of Innate Immunity in Human Atherosclerosis and Thrombosis” memaparkan keterlibatan jaring-jaring ekstraseluler (extracellular traps/ETs) dan kematian sel (etosis) dalam progresivitas aterotrombosis dan hematom pada diseksi (robekan) aorta serta peran potensial sel limfoid alami (innate lymphoid cells/ILCs) dalam perjalanan aterosklerosis. Baik ETs maupun ILCs merupakan dua temuan terbaru (novelty) pada perjalanan aterotrombosis manusia mengingat dua hal ini sebelumnya baru banyak diteliti dengan eksperimen hewan coba. Oleh karena itu, penelitian saya yang dilakukan pada spesimen jaringan manusia, yaitu plak aterosklerosis dari spesimen pembuluh darah arteri besar (aorta, karotis dan koroner) dan trombus (jendalan darah penyumbat pembuluh darah) tergolong penelitian pertama yang mengungkap keterlibatan ETs dan ILCs dalam perjalanan aterotrombosis, penyebab utama penyakit kardiovaskuler pada manusia.
Selama 4 tahun, selain mengerjakan proyek penelitian tesis, saya juga dipercaya promotor untuk membantu penelitian kolaborasi dengan klinisi dari RS Amphia di Breda (Belanda) dan dari RS Universitas Haukeland di Bergen (Norwegia). Penelitian kolaborasi ini dikembangkan untuk mempelajari keterkaitan antara temuan histopatologi dengan klinis pasien. Implementasi hasil penelitian histopatologi dalam praktik klinis melalui temuan signifikan tesis ini diharapkan dapat membantu evaluasi penanganan pasien penyakit aterotrombosis seperti infark miokard akut dan stroke.
Tiwi bisa diselesaikan tepat waktu selama 4 tahun (2015-2019), namun proses untuk bisa disetujui sampai sidang terbuka membutuhkan waktu yang agak lama. Sebagai informasi, studi S3 di Belanda mensyaratkan seorang kandidat PhD untuk bisa maju sidang terbuka setelah memiliki publikasi minimal 3 artikel sebagai penulis pertama di jurnal internasional bereputasi baik dan masih juga tergantung pada perjanjian dengan promotor. Dari proyek penelitian yang Tiwi kerjakan, promotor meminta setidaknya ada 5 artikel. Akhirnya berhasil disetujui maju sidang terbuka setelah mempublikasikan 4 artikel dan mensubmit 3 artikel lainnya.

Pengalaman hidup di negeri bunga Tulip, Tiwi menceritakan, Kota Amsterdam ini multikultural dan banyak dihuni imigran baik itu imigran pelajar maupun pekerja, sekitar 3000 orang Indonesia yang tinggal di Belanda, sebagian besar berada di Amsterdam. Jadi untuk soal makanan, tidak sulit mendapatkan makanan halal dan makanan Indonesia (Asia). Namun, biaya hidup di Amsterdam sangatlah mahal jauh diatas kota-kota lainnya seperti Leiden, Groninen, Wageningen, dan lain-lainnya. Besaran beasiswa yang diberikan oleh LPDP, hampir separuh lebih terpakai untuk biaya akomodasi (apartemen). Selain itu, di Belanda, meski harga sewa biasanya sudah termasuk listrik dan internet namun masih harus membayar pajak, air, dan pengelolaan sampah. Untuk transportasi, Amsterdam adalah kota sepeda namun fasilitas transportasi publik disini sangatlah lengkap dan memadai, ada kereta, metro, tram, dan bus (bahkan 24 jam). Biaya transportasi juga lumayan mahal namun kalau berlangganan jauh lebih murah dan banyak paket diskon yang ditawarkan.
“Komunikasi sehari-hari menggunakan bahasa Belanda, namun Amsterdam adalah kota besar sehingga dimana-mana orang begitu tahu kita tidak bisa berbahasa Belanda otomatis akan menggunakan bahasa Inggris. Di kampus, bahasa dalam kelas maupun kegiatan kursus, seminar dan pelatihan juga banyak menggunakan bahasa Inggris”, ujarnya.
Komunitas muslim di Amsterdam juga banyak dan beragam, masjid pun ada beberapa yang bisa dikunjungi untuk beribadah. Kampus seperti UvA dan VU Amsterdam, juga tempat publik seperti RS menyediakan musholla yang nyaman untuk beribadah. Setiap weekend, komunitas muslim Indonesia juga sering mengadakan pengajian di masjid Amsterdam.
Selama 4 tahun hidup di Belanda, menurut Tiwi, hal yang agak berat adalah justru culture shock. Sebelumnya saya pernah hidup bersekolah di Australia dan Inggris, baru di Belanda inilah goncangan perbedaan budaya benar-benar saya rasakan sebagai tantangan. Budaya Belanda sangat berbeda dengan Indonesia apalagi karakteristik umum orang-orangnya.  Mereka biasanya sangat direct atau terang-terangan dalam menyampaikan opini dan kritik, sangat tertutup untuk masalah hal pribadi dan keluarga (kecuali kalau dirasa sudah akrab dengannya), individualis dan lebih suka bekerja secara mandiri namun sangat menghargai waktu. Sebagai orang Jawa (apalagi Yogyakarta), karakter kita yang mengalah namun berperasaan halus benar-benar harus diadaptasikan untuk bisa bersosialisasi dengan baik dengan orang Belanda (Dutch people).
“Kuliah di Belanda sangat berkesan untuk saya. Walaupun karakter orang-orangnya sangat unik, namun kuliah di Belanda sangat recommended. Selain reputasi kualitas perguruan tinggi di Belanda yang telah diakui dunia, sistem belajar yang unik (kebanyakan berdasar problem-based learning) melatih kemampuan dan skill mahasiswa dalam berpikir kritis dan memecahkan masalah. Selain itu, masyarakatnya multikultur dan mudah mendapatkan komunitas Indonesia (dengan makanannya). Tawaran beasiswa baik itu dari pemerintah Indonesia maupun Belanda sendiri juga setiap tahun dibuka untuk program master maupun doctor”, pungkasnya. (witono)