SEMINAR NASIONAL LINGKUNGAN HIDUP

Indonesia telah didaulat sebagai negara dengan kekayaan hayati tertinggi kedua setelah Brazil. Dengan luas daratan hanya 1,3% dari seluruh daratan di Bumi Indonesia memiliki 10% spesies tanaman berbunga, 12% spesies mamalia, 16% spesies reptil dan amfibi, 17% spesies burung, serta 25% spesies ikan yang terdapat di dunia. Belum lagi panjang pesisir Indonesia 81 ribu kilometer atau 14% dari panjang pantai dunia dipastikan memiliki kekayaan hayati sangat besar. Hutan bakau kita ternyata sangat luas dan memiliki terumbu karang paling kaya di Asia. Hutan tropis Indonesia merupakan hutan tropis trebesar di Asia pasifik seluas 1,15 juta kilometer persegi dengan 447 spesies palem dimana 225 buah dianataranya tidak ditemukan di belahan dunia yang lain. Demikian diungkapkan Dr. Rosichon Ubaidillah, M.Phil dari Divisi Zoologi Pusat Riset Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jakarta pada Seminar Nasional Lingkungan Hidup yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Pecinta Alam (Hancala) FMIPA UNY pada Sabtu 22 Mei 2010 di Ruang Seminar FMIPA UNY. Lebih lanjut Rosichon mengatakan bahwa beberapa dasawarsa terakhir ini telah terjadi kepunahan keanekaragaman hayati seperti pembalakan liar, pembakaran hutan, polusi air dan sebagainya. Oleh karena itu pemerintah Indonesia telah mengupayakan usaha penyelamatan lingkungan melalui LIPI yang difokuskan pada aspek konservasi serta pengembangan sumber daya hayati dan pengembangan teknologi proses dan rekayasa genetika seperti mendukung ketahanan pangan, kesehatan serta energi baru dan terbarukan.
Seminar nasional bertema “Menggapai kehidupan yang lebih indah dengan menyelaraskan diri dengan alam” diselenggarakan dalam rangka memperingati hari lingkungan hidup yang jatuh pada tanggal 5 Juni. Diikuti oleh lebih dari 50 orang mahasiswa dan guru seminar nasional juga menampilkan pembicara Dr. Feybe E.N Lumuru dari Jendela Ekologi Indonesia yang menyoroti aktivitas negatif pemanfaatan sumberdaya alam seperti kebijakan pemerintah yang tumpang tindih, lemahnya pengawasan dan penegakan hokum, pemanfaatan kesempatan sesaat, desakan kebutuhan hidup serta perilaku tidak ramah lingkungan. Oleh karena itu kedepannya perlu diubah perspektif pengelolaan lingkungan dari sekedar “memanfaatkan” ke arah “melestarikan” lingkungan. Selain itu diperlukan pula komitmen untuk konsisten dalam penerapan regulasi terkait secara transparan dan melibatkan berbagai pihak termasuk lembaga publik dan masyarakat lokal.